Editor : Mas Pay
Yogyakarta ( JMG ) – Menurut tinjauan politik saat terjadi estafet tampuk kekuasaan dari Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono VII kepada Pangeran Sujadi sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII merupakan estafet kepemimpinan pemerintahan saja dan tidak disertai pelepasan hak kepemilikan Eigendom Verponding.
Dalam masa peralihan sebelumnya Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono VII telah m Lantik Putra tertua dari Pernikahan dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas yaitu Pangeran Akhadiyat dan sudah di wisuda dengan gelar KGPAA Hamengkunegoro I, namun sebelum penobatan atau jumenengan Hamengkunegoro I wafat dengan cara tidak baik ( Sampai sekarang misteri ).
Kemudian mengangkat KGPAA Hamengkonegoro II yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Juminah juga diberhentikan dengan alasan kesehatan. Selanjutnya mengangkat Putra Mahkota ke III Gusti Raden Mas Putro dengan gelar KGPAA Hamengkunegoro III tetapi meninggal dunia.
Selanjutnya muncul hal yang tidak biasa dengan diangkatnya Pangeran Mahkota ke IV yang di lakukan di luar Yogyakarta yaitu di Semarang. Di dalam pergantian tahta Raja kepada Putra Mahkota ialah menunggu sampai sang Raja Wafat namun kali ini dilakukan saat Sultan Hamengkubuwono VII masih hidup bahkan sampai sang justru diasingkan oleh Putra Mahkota ke Pesanggrahan diluar Keraton Yogyakarta.
Demikian pula hal yang terjadi pada masa peralihan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak pernah terjadi peralihan hak kepemilikan Eigendum Verponding.
Namun fakta terjadi saat ini melalui peraturan menteri Agraria dan Tata ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pendaftaran Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di DIY. Hal ini jelas-jelas merugikan dan melukai keturunan dari pangeran mahkota sebelumnya.
Dan pada saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertahta terjadi penyerahan salinan dokumen Eigendom Verponding TANPA DISERTAI dengan dokumen peralihan hak kepemilikan. Dokumen tersebut diserahkan kepada Negara kesatuan Republik Indonesia untuk dijadikan basic territorial negara bahkan RM Mardjoeki alias Gusti Ahmad, Mardjoeki bin Pangeran Akhadiyat alias KGPAA Hamengkunegoro I turut terlibat dalam pembahasan fundamental NKRI.
Penjabaran ketegasan posisi Eigendom Verponding terdeskripsi dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3…” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dan dapat di simpulkan berarti sampai saat ini tidak ada pelepasan hak Eigendom Verponding dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII sampai sekarang.
( Red)