Dampak Keterlibatan ASN Dalam Pilpres Oleh: Zarfan’s Gumanti

Editor : Meza GN

NETRALITAS ASN DALAM PRODUK HUKUM

PADANG, (JMG) – Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan elemen dari birokrasi di Indonesia. Pada hakikatnya pekerjaan birokrasi memiliki tugas pokok sebagai pelayan dari masyarakat. Pekerjaan sebagai seorang ASN dituntut untuk mengutamakan netralitas, utamanya dalam politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Netralitas berasal dari kata “netral” (2000:688).

Sikap netral dalam arti tidak berdiri memihak atau bebas. ASN khususnya Status Kepegawaian (PNS), dalam pekerjaanya didasarkan pada asas Netralitas, sebagaimana disebutkan Pasal , 2 Huruf (f) UU No. -5 Tahun 2014.


Dalam Pasal 2 (f), dijelaskan bahwa “Asas Netralitas” berarti bahwa pegawai ASN tidak mempengaruhi dan tidak menguntungkan siapa pun. Penegasan ini tidak memungkinkan pegawai ASN di Indonesia berpihak pada pengaruh politik atau kelompok dalam bentuk apapun dari partai politik manapun.


Pada terbitan 5 Tahun 2014, istilah PNS diganti dengan Pegawai Aparatur Sipil Negara atau disingkat ASN. ASN diangkat lewat sistem merit, memiliki tugas mengabdi pada negara dan melayani masyarakat, mempunyai nilai dasar, etika profesi, tidak memiliki campur tangan dengan politik, tidak ada praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) , dan dibayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pejabat Negara (ASN) (Faisal Abdullah, 2012: 3).

DAMPAK KETERLIBATAN ASN DALAM KOMPETISI PILPRES

Apabila ASN tidak netral dan terlibat dalam kepentingan politik, maka kemungkinan besar akan mengintervensi kewajiban, peran, tugas dari seorang ASN. Maka demi mencegah beragam ancaman tersebut, merupakan alasan yang sangat logis bahwa ASN wajib bersikap netral (Bagus Samawa 2018:182).


Maka dari itu, sebelum seorang ASN dilantik, maka dilakukan sumpah jabatan yang disesuaikan dengan agama dari masing-masing individu ASN. Harapannya, agar ASN sebagai birokrat akan selalu bekerja untuk kepentingan negara juga masyarakat, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan kelompok tertentu.


Meskipun telah diatur secara khusus dalam berbagai produk hukum dan perundang-undangan terkait netralitas dari seorang ASN, nyatanya masih ditemukan di lapangan mengenai praktik pemanfaatan sebagai komoditas pemilu oleh penguasa / petahana.


Sebagai penghambat penerapan Asas Netralitas ASN, perilaku netral ASN dinilai sebagai bentuk penolakan dukungan apabila melihat berbagai kasus yang terjadi di daerah. ASN masih dianggap menjadi senjata bagi seorang petahana untuk memberikan dan meraup suara, juga mempertahankan potensi terpilihnya kembali si petaha.


Apabila seorang ASN menunjukan sikap netralitas atau penolakan, maka akan mempengaruhi karir dan status yang diduduki oleh ASN tersebut. Berbagai kasus dan permasalahan terkait netralitas tersebut tentu saja memberikan dampak berupa ancaman akan demokrasi itu sendiri.


Apabila ASN pada akhirnya menjadi alat bagi petahana atau penguasa untuk memonopoli kekuatan, tentu saja akan memberikan dampak langsung berupa kekuatan demokrasi itu sendiri.
Tentu saja pada akhirnya proses pemilu alih-alih bertujuan untuk menghasilkan pemimpin yang mengabdi kepada masyarakat, pada akhirnya menjadi momentum transaksional antara berbagai pihak yang berkepentingan, dalam konteks kali ini petahana dan ASN. Selain itu, adanya keterlibatan ASN dalam pemilu juga akan mengganggu jalannya sistem merit, dikarenakan ketakutan ASN bahwa dirinya akan dimutasi ketika menunjukan sikap netral, atau iming – iming kenaikan jabatan dari calon peserta pemilu kepada ASN.

Biodata Penulis
Nama: Zarfan’s Gumanti
Universitas: Brawijaya
Prodi: Ilmu Politik 2019

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.