Curahan Hati Aliansi Wartawan Anti Kriminalisasi Sumbar

Padang, jejak77.com – Jurnalis Tidak Hidup Hanya Dengan Tulisan dan Media, Meskipun Terkadang Mereka Butuh Bantuan dan Perhatiaan.

Seorang jurnalis juga memiliki mobilitas tinggi, karena harus selalu ke lokasi, untuk mendapatkan data dan berita terbaru. Meski saat ini jaman sudah canggih, narasumber dapat dihubungi untuk wawancara, namun jurnalis harus tetap ke lapangan untuk memperoleh data, fakta dan foto.

Jurnalis harus berkejar dengan jurnalis lain untuk mendapat informasi terkini dan mendahulukan tampil di media mereka masing-masing. Semakin eksklusif, maka semakin banyak pembaca di media mereka. Untuk menjamin keakuratan beritanya, para jurnalis harus turun ke lapangan, rumah sakit, lokasi kecelakaan, atau lokasi penyebaran penyakit.

Melihat mobilitas jurnalis yang begitu tinggi, maka potensi tertular, juga sangat besar kepada para pemburu berita ini. Jurnalis selalu berbaur dengan rekan sejawat, dokter bahkan orang lain yang menjadi sumber berita. Termasuk, dengan seorang pasien positif terjangkit virus Corona sekarang ini.

Ketika seorang pasien positif Corona meninggal dunia dan dimakamkan, jurnalis juga harus pula turun ke lokasi pemakaman untuk melakukan peliputan.

Padahal, disaat proses pemakaman, pasien positif tersebut dikuburkan oleh petugas yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap, tanpa pelayat dan keluarga yang mendampingi. Tapi jurnalis malah ke lokasi untuk meliput, dan banyak pula diantara mereka yang tidak mengenakan alat pelindung.

Bisa jadi karena si jurnalis kurang paham tentang protokol kesehatan? Atau karena sengaja mengabaikannya. Tapi dari pengalaman di lapangan, untuk tugas liputan di daerah berbahaya, termasuk lokasi pandemi virus, banyak jurnalis yang tidak memiliki protokol dari redaksi medianya. Artinya jurnalis dibiarkan turun ke lapangan untuk meliput, tanpa ada SOP (standar operasional prosedur) tentang menjaga keselamatan jurnalis itu sendiri.

Hanya sebagian media yang menyiapkan protokol keselamatan bagi para jurnalisnya di lapangan, seperti dalam liputan penyebaran bawah virus Corona. Karena dalam liputan berbahaya seperti ini, jurnalis selayaknya menjaga jarak aman, mengenakan perlengkapan pelindung, dan menyiapkan obat-obatan sebagai antisipasi tertular virus. Tapi apa jadinya bila sang jurnalis tidak paham dan redaksinya sama sekali tidak menyiapkan protokol liputan?

Bahkan di lapangan, banyak jurnalis media nasional sekalipun tidak dilengkapi APD. Lalu, bagaimana jaminan keselamatan jurnalis? Berbagai organisasi profesi jurnalis sudah mengeluarkan panduan keselamatan peliputan, yang seharusnya juga diikuti oleh redaksi media masing-masing.

Ketia sebuah negara mengeluarkan kebijakan lockdown, apakah jurnalis akan berhenti bertugas? Tentu jawabannya tidak. Sama seperti para dokter atau tenaga medis, jurnalis akan tetap bertugas. Jurnalis juga harus terus melaporkan perkembangan terbaru di lapangan untuk masyarakat.

Bayangkan, bagaimana jika jurnalis ikut stay at home, maka bisa jadi di surat kabar, internet, televisi maupun radio, tidak ada sama sekali berita yang muncul. Tidak ada informasi apa pun, dan akibatnya masyarakat tidak tahu apa pun yang terjadi di sekitarnya.

Sementara jurnalis sendiri memiliki filosofi, “jika kiamat sekalipun terjadi, jurnalis akan tetap bekerja meliput”. Dan satu hal, jurnalis atau wartawan dalam bekerja, berlandaskan UU No.40 tahun 1999, tentang pers. Artinya, para jurnalis bekerja atas dasar undang-undang tersendiri.

Kerja berat jurnalis, terkadang tidak diimbangi dengan jaminan sosialnya. Yang jelas, dalam konteks saat ini, profesi itu sangat rentan menjadi korban pertama tertular virus Corona. Tapi tentu apa yang diharapkan dari pemerintah adalah adanya jaminan sosial atau stimulus untuk profesi ini. *AWAK

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.